Pemberian hukuman (punishment) tidak dapat dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang menurut kehendak seorang. Menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, selalu mendapat pengawasan dari Negara dan masyarakat, hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis) harus memenuhi syarat-syarat tertentu. (Purwanto, 2004:191)
Adapun syarat-syarat hukuman yang pedagogis itu antara lain ialah:
a.Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggung jawabkan, yakni hukuman itu tidak boleh dilakukan dengan tindakan sewenang-wenang.
b.Hukuman itu sedapat mungkin bersifat memperbaiki, yang berarti harus mempunyai nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum; memperbaiki kelakuan dan moral anak.
c.Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perorangan, hukuman yang sedemikaian itu tidak memungkinkan adanya hubungan baik antara si pendidik dan yang dididik.
d.Jangan menghukum atau menjatuhkan hukuman pada waktu sedang marah, sedang tujuan hukuman ialah untuk memperbaiki siswa yang melakukan kesalahan.
e.Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu.
f.Hukuman hendaknya dapat dirasakan atau direnungkan sebagai kedukaan, sehingga ia tidak akan mengulanginya.
g.Jangan melakukan hukuman fisik, lebih baik menggunakan hukuman psikis.
h.Hukuman hendaknya di sesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi siswa.
i.Menjatuhkan hukuman, hendaknya di sesuiakan dengan jenis kesalahan.
Hukuman sebagai salah satu metode pendidikan yang mendapat perhatian besar dari para pendidik muslim, seperti: Ibnu Sina, al-Ghozali, Ibnu Khaldun, dan al-Abadari. Mereka berpendapat bahwa menjaga (tindakan, preventif) lebih baik dari pada mengobati (tindakan kuratif) (Nata, 2007:196).
Ibnu sina berpendapat bahwa pendidikan anak dan membiarkan dengan tingkah laku yang terpuji harus di mulai sebelum tertanam padanya sifat-sifat yang buruk, oleh karena itu akan sukar bagi anak untuk melepaskan kebisaaan-kebisaaan tersebut bila sudah menjadi kebisaaan dan telah tertanam dalam jiwanya. Sekiranya pendidik terpaksa harus menggunakan hukuman, hendaknya hukuman ditimbang dari segala segi dan diambil kebijaksanaan dalam penentuan batas-batas hukuman tersebut. Ibnu Sina memberi petuah supaya penghukum jangan terlalu keras dan kasar pada tingkat permulaan, akan tetapi haruslah dengan lunak dan lembut, di mana digunakan cara-cara perangsang di samping menakut-nakuti, selebihnya dapat dipertimbangkan secara matang. Terkadang nasehat dorongan dan pujian itu lebih baik pengaruhnya dalam usaha perbaikan dari pada celaan atau sesuatu yang menyakitkan (Al-Absari, 2007:154).
Al-ghozali berpendapat, seorang pendidik harus mengetahui jenis penyakit serta umurnya dalam hal menegur anak-anak dan mendidik mereka, oleh karena itu dalam pandangannya guru ibarat dokter, artinya setiap anak harus dilayani dengan layanan yang sesuai, diselidiki latar belakangnya yang menyebabkan ia berbuat kesalahan. Dalam hal ini harus di bedakan antara anak kecil dan anak besar (ada yang kecil tubuhnya dewasa pemikirannya, ada pula besar tubuhnya tapi pemikirannya kekanak-kanakan atau manja). Dalam menjatuhkan hukuman al-Ghozali tidak setuju dengan capat-cepat menghukum seorang anak yang bersalah. Beliau berependapat bahwa hendaknya anak terlebih dahulu diberikan petuah dan semacam pemantik agar anak tersebut dapat memperbaiki sendiri kesalahannya, sementara dipuji dan disanjung bila ia melakukan perbuatan yang terpuji, maka akan menambah kepercayaan dalam dirinya. (Al-absari, 2007:155)
Ibnu Khaldun tidak menyetujui pemberian hukuman kepada anak didik, ia berkata: "siapa yang bisaanya dididik dengan kekerasan di antara siswa-siswa atau pembantu-pembantu dalam pelayanan, ia akan di pengaruhi oleh kekerasan, akan merasa sempit hati, akan kekurangan kegiatan belajar, akan menyebabkan ia berdusta, dan akan bersifat malas serta melakukan yang buruk-buruk karena takut akan dijangkau tangan-tangan yang kejam. Hal ini selanjutnya akan mendorong dia menipu dan berbohong, sehingga sifat-sifat ini menjadi kebisaaan dan perangainya serta hancurnya kemanusiaan yang masih ada pada dirinya. Kekerasan pada anak-anak menumbuhkan kebisaaan-kebisaaan penakut, menjauhkan anak dari kegairahan bekerja, keberanian bertindak dan menyebabkan ia senantiasa merasa sengsara. (Al-Absari, 2007:156)
Al-Abdari berpendapat sifat-sifat anak yang berbuat salah itu harus diteliti. Semisal dalam ilustrasi ini, satu pandangan mata saja terhadap anak mungkin cukup untuk pencegahan atau perbaikan. Sebaliknya mungkin ada anak-anak yang membutuhkan celaan dan dampratan sebagai hukumannya, mungkin ada pula anak yang harus dipukul baru ia sadar akan kekeliruannya, akan tetapi seharusnya seorang juru didik tidak boleh mempergunakan benda keras, kecuali dengan sangat terpaksa. Kalau memang sudah putus asa dari mempergunakan jalan-jalan perbaikan yang sifatnya hakus dan lembut, jika terpaksa harus memberikan hukuman atas anak kecil, cukuplah kiranya diberi dua pukulan ringan dan kalau perlu jangan sampai lebih dari tiga pukulan. (Al-Absari, 2007:157)
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah sebagai berikut:
1.Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan.
2.Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak.
3.Hukuman harus diberikan dengan adil.
4.Guru sanggup memberikan maaf setelah hukuman itu dijalankan.
kalau abis baca palagi paste, jangan lupa tinggalin komentarnya yah....makasih.
0 komentar:
Posting Komentar