Belajar dari Wanita Pemimpin
Margaret Thatcher dari Inggris, Cory Aquino dari Filipina; Benazir Bhutto dari Pakistan, Aung San Suu Kyi dari Myanmar, Tjut Njak Dhien dari Aceh, Mooryati Soedibyo, Martha Tilaar, dan tentunya Megawati dari Indonesia. Semua adalah para wanita pemimpin yang telah menunjukkan prestasi di bidang yang mereka tekuni.
Menjelang hari Kartini, tidak ada salahnya jika kita belajar dari para wanita pemimpin. Menurut Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3, sebagai pemimpin, wanita memiliki berbagai kelebihan di beberapa bidang dibandingkan pria. Kelebihan apa yang dimiliki para wanita sebagai pemimpin? Inilah yang akan digali lebih lanjut dalam artikel ini.
PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL
Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3 melaporkan bahwa berbagai penelitian dalam kepemimpinan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin umumnya mempraktikkan prinsip kepemimpinan transformasional. Pemimpin yang transformasional antara lain adalah pemimpin yang berorientasi pada pendukung, prinsip, dan perubahan.
Berorientasi pada pendukung. Wanita pemimpin umumnya lebih berorientasi pada pendukung. Penelitan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin memberdayakan para pendukung dengan memberi kesempatan kepada orang-orang yang mereka pimpin untuk menyatakan pendapat dan memberi masukan. Para wanita pemimpin ini juga melakukan berbagai upaya untuk pengembangan diri. Selain memberdayakan pengikut mereka, para wanita pemimpin lebih banyak yang bertindak sebagai mentor daripada sebagai ”bos”. Wanita pemimpin memberi petunjuk dan bimbingan yang diperlukan kepada para pendukung untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Selain bertindak sebagai mentor, para wanita pemimpin juga cenderung untuk memimpin dengan memberi teladan kepemimpinan pada para pendukunng melalui sikap dan tindakan mereka. Jika mereka menginginkan disiplin untuk diterapkan oleh anak buah, maka mereka pun akan menunjukkan sikap disiplin, jika mereka ingin agar anak buah bersikap jujur dan terbuka, mereka pun akan memberikan teladan yang sama.
Misalnya: Kita bisa berguru pada Tjut Njak Dhien, pemimpin dari Aceh dan Cory Aquino dari Filipina yang senantiasa berorientasi pada para pendukung. Tujuan perjuangan mereka didasarkan pada kepentingan para pendukung (rakyat): Tjut Njak Dhien berjuang untuk membebaskan rakyatnya dari penjajahan dan kekejaman musuh, sedangkan Cory Aquino berjuang untuk mengembalikan kekuasaan pada rakyat dan membentuk pemerintahan yang bersih dari KKN. Dalam memberikan keteladanan sikap dan tindakan, kedua wanita pemimpin ini tidak diragukan lagi. Keterbukaan, ketulusan dan semangat juang tinggi merupakan keteladanan yang sangat menonjol ditunjukkan oleh kedua wanita ini.
Berorientasi pada perubahan. Kepemimpinan para wanita umumnya diarahkan pada perubahan. Tekanan sosial, budaya, dan ekonomi mendorong wanita untuk menunjukkan prestasi dua kali lebih besar dari pada para pria, untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar. Para wanita seringkali harus mempersembahkan solusi yang luar biasa, yaitu yang membawa ”perubahan” signifikan bagi lingkungan mereka, untuk dapat diakui sebagai pemimpin. Ketika mereka diberi kesempatan memimpin pun, mereka tetap berjuang untuk membawa perubahan besar, karena hanya perubahanlah yang akan membuat masyarakat sekitar memperhatikan prestasi mereka. Dengan demikian, mereka memotivasi para pendukung dan orang-orang di sekitar mereka juga untuk bersama-sama menciptakan perubahan bagi lingkungan tempat mereka berkarya. Mereka memotivasi para pendukung untuk senantiasa mencari alternatif dan ide-ide segar yang inovatif.
Misalnya: Mary Eugenia Charles dari Republik Dominika yang menduduki posisi Perdana Menteri tidak lama setelah negaranya mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1978, melakukan banyak perubahan, terutama di bidang ekonomi (memperbaiki ekonomi yang terpuruk selama masa prakemerdekaan) selama tiga periode kepemimpinannya. Mary Robinson dari Irlandia juga banyak membawa perubahan di berbagai bidang (hukum, politik, dan ekonomi) di negaranya.
Berorientasi pada prinsip. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa umumnya wanita pemimpin bertindak dan mengambil keputusan terutama karena didorong oleh prinsip yang diperjuangkan, bukannya oleh kekuasaan yang diraih. Mereka menunjukkan semangat yang tinggi dalam mempertahankan dan memperjuangkan prinsip yang mereka pegang. Tidak heran jika mereka memiliki daya tahan yang lebih lama dan toleransi yang lebih tinggi atas krisis dan masalah yang mungkin harus mereka hadapi dalam menjalankan tugas mereka.
Misalnya: Ibu Teresa, pejuang hak-hak kaum papa, dan Benazir Bhutto, pemimpin dari Pakistan menunjukkan semangat tinggi dan ketahanan yang kuat terhadap masalah dan tekanan karena tindakan mereka didorong oleh prinsip yang mereka perjuangkan. Margaret Thatcher dari Inggris juga sependapat. Mantan Perdana Menteri Inggris ini mengatakan bahwa untuk memenangkan sebuah perjuangan, seringkali kita harus bertarung lebih dari satu kali. Dalam memperjuangkan prinsip mereka masing-masing, ketiga wanita pemimpin ini banyak mendapat hambatan dan masalah. Penjara, penyakit, penolakan, cercaan, kegagalan, dan tekanan dari pihak oposisi tidak memupuskan semangat juang mereka.
PEMIMPIN TRANSAKSIONAL
Penelitian yang diterbitkan Psychological Bulletin juga mengungkapkan bahwa selain berperan sebagai pemimpin yang transformasional, para wanita pemimpin juga memiliki kelebihan sebagai pemimpin yang transaksional.
Komunikasi. Diane Halpern, seorang profesor di bidang psikologi, mengungkapkan bahwa wanita memiliki kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi. Beberapa peneliti lain juga mendukung pendapat Halpern dengan mengatakan bahwa wanita memiliki kemampuan berbahasa lebih baik dari pada pria. Dalam menjalankan kepemimpinannya, para wanita menggunakan kemampuan bahasa mereka untuk berkomunikasi dengan para pendukung. Dalam berinteraksi dengan para pendukung, para wanita memilih dengan hati-hati kata-kata yang mereka ucapkan. Kata-kata mereka jadikan senjata ampuh untuk menyampaikan pendapat, memberi motivasi dan dorongan bagi anak buah. Mereka sadar bahwa kata-kata yang tepat memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan orang lain.
Misalnya: Isabela Peron dari Argentina dan Indira Gandhi dari India dikenal efektif dalam menggunakan kemampuan berkomunikasi dan kekuatan kata-kata dalam memimpin. Kemampuan berkomunikasi mereka telah terbukti ampuh dalam menggalang dukungan luas dari berbagai pihak dan memotivasi rakyat untuk ikut berjuang bersama-sama dengan mereka. Kemampuan berkomunikasi mereka juga telah berhasil membawa mereka untuk menundukkan lawan dan memenangkan simpati kawan terhadap perjuang mereka, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Kerja sama Tim. Dalam berperan sebagai pemimpin, para wanita enggan untuk bertindak sendirian. Mereka banyak menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Mereka sadar bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai jika dilakukan dengan dukungan dari banyak pihak. Mereka juga sadar bahwa masalah akan terasa lebih ringan jika ditanggung bersama. Untuk itulah, dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan mereka, para wanita lebih banyak menjalin kerja sama dalam tim dari pada melakukan segala sesuatunya sendirian.
Misalnya: Anda tidak bisa berjabat tangan dengan tangan yang tertutup, demikian yang diucapkan oleh Golda Meir, mantan Perdana Menteri Israel. Yang dimaksud Meir di sini adalah, dalam bekerja sama, seorang pemimpin perlu menginvestasikan waktu dan usaha untuk membina hubungan baik perlu dibina agar sang pemimpin bisa diterima dengan tangan terbuka. Kerja sama tim juga diterapkan oleh Presiden Kumaratungga dari Sri Lanka yang senantiasa berusaha menggalang kerja sama tidak saja dengan berbagai pihak di dalam negeri, tetapi juga dengan negara-negara tetangga untuk mengatasi masalah, menciptakan stabilitas di bidang ekonomi, politik, dan sosial dan menciptakan perdamaian di tingkat regional dan internasional.
Terbuka. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa wanita pemimpin dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinannya umumnya bersikap lebih terbuka dalam hal membagikan informasi dan tanggung jawab pada para pendukung mereka. Dengan keterbukaan ini mereka menanamkan ”kepercayaan” pada para pendukung. Hasilnya, para pendukung umumnya menjadi lebih loyal pada wanita pemimpin mereka.
Misalnya: Aung San Suu Kyi, pemimpin para pejuang demokrasi dari Myanmar, memiliki banyak pengikut dan pendukung setia, karena keterbukaannya pada rakyat. Sikap ini memupuk kepercayaan rakyat akan ketulusan Aung San Suu Kyi dalam memperjuangkan nasib mereka.
Setiap orang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan orang lain di bidang-bidang yang berbeda. Demikian juga dengan wanita yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan pria di bidang-bidang tertentu. Jika kedua golongan ini bisa saling belajar satu dengan lainnya, dan saling mengisi dengan kelebihan masing-masing, tentunya banyak hal positif yang bisa diraih dan banyak perubahan positif yang juga bisa diciptakan. Di bulan April ini yang seringkali diasosiasikan dengan bulan perjuangan kaum ”Kartini”, mengapa kita tidak belajar dari hal-hal positif yang menjadi keunggulan para wanita pemimpin?
Menjelang hari Kartini, tidak ada salahnya jika kita belajar dari para wanita pemimpin. Menurut Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3, sebagai pemimpin, wanita memiliki berbagai kelebihan di beberapa bidang dibandingkan pria. Kelebihan apa yang dimiliki para wanita sebagai pemimpin? Inilah yang akan digali lebih lanjut dalam artikel ini.
PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL
Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3 melaporkan bahwa berbagai penelitian dalam kepemimpinan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin umumnya mempraktikkan prinsip kepemimpinan transformasional. Pemimpin yang transformasional antara lain adalah pemimpin yang berorientasi pada pendukung, prinsip, dan perubahan.
Berorientasi pada pendukung. Wanita pemimpin umumnya lebih berorientasi pada pendukung. Penelitan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin memberdayakan para pendukung dengan memberi kesempatan kepada orang-orang yang mereka pimpin untuk menyatakan pendapat dan memberi masukan. Para wanita pemimpin ini juga melakukan berbagai upaya untuk pengembangan diri. Selain memberdayakan pengikut mereka, para wanita pemimpin lebih banyak yang bertindak sebagai mentor daripada sebagai ”bos”. Wanita pemimpin memberi petunjuk dan bimbingan yang diperlukan kepada para pendukung untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Selain bertindak sebagai mentor, para wanita pemimpin juga cenderung untuk memimpin dengan memberi teladan kepemimpinan pada para pendukunng melalui sikap dan tindakan mereka. Jika mereka menginginkan disiplin untuk diterapkan oleh anak buah, maka mereka pun akan menunjukkan sikap disiplin, jika mereka ingin agar anak buah bersikap jujur dan terbuka, mereka pun akan memberikan teladan yang sama.
Misalnya: Kita bisa berguru pada Tjut Njak Dhien, pemimpin dari Aceh dan Cory Aquino dari Filipina yang senantiasa berorientasi pada para pendukung. Tujuan perjuangan mereka didasarkan pada kepentingan para pendukung (rakyat): Tjut Njak Dhien berjuang untuk membebaskan rakyatnya dari penjajahan dan kekejaman musuh, sedangkan Cory Aquino berjuang untuk mengembalikan kekuasaan pada rakyat dan membentuk pemerintahan yang bersih dari KKN. Dalam memberikan keteladanan sikap dan tindakan, kedua wanita pemimpin ini tidak diragukan lagi. Keterbukaan, ketulusan dan semangat juang tinggi merupakan keteladanan yang sangat menonjol ditunjukkan oleh kedua wanita ini.
Berorientasi pada perubahan. Kepemimpinan para wanita umumnya diarahkan pada perubahan. Tekanan sosial, budaya, dan ekonomi mendorong wanita untuk menunjukkan prestasi dua kali lebih besar dari pada para pria, untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar. Para wanita seringkali harus mempersembahkan solusi yang luar biasa, yaitu yang membawa ”perubahan” signifikan bagi lingkungan mereka, untuk dapat diakui sebagai pemimpin. Ketika mereka diberi kesempatan memimpin pun, mereka tetap berjuang untuk membawa perubahan besar, karena hanya perubahanlah yang akan membuat masyarakat sekitar memperhatikan prestasi mereka. Dengan demikian, mereka memotivasi para pendukung dan orang-orang di sekitar mereka juga untuk bersama-sama menciptakan perubahan bagi lingkungan tempat mereka berkarya. Mereka memotivasi para pendukung untuk senantiasa mencari alternatif dan ide-ide segar yang inovatif.
Misalnya: Mary Eugenia Charles dari Republik Dominika yang menduduki posisi Perdana Menteri tidak lama setelah negaranya mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1978, melakukan banyak perubahan, terutama di bidang ekonomi (memperbaiki ekonomi yang terpuruk selama masa prakemerdekaan) selama tiga periode kepemimpinannya. Mary Robinson dari Irlandia juga banyak membawa perubahan di berbagai bidang (hukum, politik, dan ekonomi) di negaranya.
Berorientasi pada prinsip. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa umumnya wanita pemimpin bertindak dan mengambil keputusan terutama karena didorong oleh prinsip yang diperjuangkan, bukannya oleh kekuasaan yang diraih. Mereka menunjukkan semangat yang tinggi dalam mempertahankan dan memperjuangkan prinsip yang mereka pegang. Tidak heran jika mereka memiliki daya tahan yang lebih lama dan toleransi yang lebih tinggi atas krisis dan masalah yang mungkin harus mereka hadapi dalam menjalankan tugas mereka.
Misalnya: Ibu Teresa, pejuang hak-hak kaum papa, dan Benazir Bhutto, pemimpin dari Pakistan menunjukkan semangat tinggi dan ketahanan yang kuat terhadap masalah dan tekanan karena tindakan mereka didorong oleh prinsip yang mereka perjuangkan. Margaret Thatcher dari Inggris juga sependapat. Mantan Perdana Menteri Inggris ini mengatakan bahwa untuk memenangkan sebuah perjuangan, seringkali kita harus bertarung lebih dari satu kali. Dalam memperjuangkan prinsip mereka masing-masing, ketiga wanita pemimpin ini banyak mendapat hambatan dan masalah. Penjara, penyakit, penolakan, cercaan, kegagalan, dan tekanan dari pihak oposisi tidak memupuskan semangat juang mereka.
PEMIMPIN TRANSAKSIONAL
Penelitian yang diterbitkan Psychological Bulletin juga mengungkapkan bahwa selain berperan sebagai pemimpin yang transformasional, para wanita pemimpin juga memiliki kelebihan sebagai pemimpin yang transaksional.
Komunikasi. Diane Halpern, seorang profesor di bidang psikologi, mengungkapkan bahwa wanita memiliki kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi. Beberapa peneliti lain juga mendukung pendapat Halpern dengan mengatakan bahwa wanita memiliki kemampuan berbahasa lebih baik dari pada pria. Dalam menjalankan kepemimpinannya, para wanita menggunakan kemampuan bahasa mereka untuk berkomunikasi dengan para pendukung. Dalam berinteraksi dengan para pendukung, para wanita memilih dengan hati-hati kata-kata yang mereka ucapkan. Kata-kata mereka jadikan senjata ampuh untuk menyampaikan pendapat, memberi motivasi dan dorongan bagi anak buah. Mereka sadar bahwa kata-kata yang tepat memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan orang lain.
Misalnya: Isabela Peron dari Argentina dan Indira Gandhi dari India dikenal efektif dalam menggunakan kemampuan berkomunikasi dan kekuatan kata-kata dalam memimpin. Kemampuan berkomunikasi mereka telah terbukti ampuh dalam menggalang dukungan luas dari berbagai pihak dan memotivasi rakyat untuk ikut berjuang bersama-sama dengan mereka. Kemampuan berkomunikasi mereka juga telah berhasil membawa mereka untuk menundukkan lawan dan memenangkan simpati kawan terhadap perjuang mereka, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Kerja sama Tim. Dalam berperan sebagai pemimpin, para wanita enggan untuk bertindak sendirian. Mereka banyak menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Mereka sadar bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai jika dilakukan dengan dukungan dari banyak pihak. Mereka juga sadar bahwa masalah akan terasa lebih ringan jika ditanggung bersama. Untuk itulah, dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan mereka, para wanita lebih banyak menjalin kerja sama dalam tim dari pada melakukan segala sesuatunya sendirian.
Misalnya: Anda tidak bisa berjabat tangan dengan tangan yang tertutup, demikian yang diucapkan oleh Golda Meir, mantan Perdana Menteri Israel. Yang dimaksud Meir di sini adalah, dalam bekerja sama, seorang pemimpin perlu menginvestasikan waktu dan usaha untuk membina hubungan baik perlu dibina agar sang pemimpin bisa diterima dengan tangan terbuka. Kerja sama tim juga diterapkan oleh Presiden Kumaratungga dari Sri Lanka yang senantiasa berusaha menggalang kerja sama tidak saja dengan berbagai pihak di dalam negeri, tetapi juga dengan negara-negara tetangga untuk mengatasi masalah, menciptakan stabilitas di bidang ekonomi, politik, dan sosial dan menciptakan perdamaian di tingkat regional dan internasional.
Terbuka. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa wanita pemimpin dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinannya umumnya bersikap lebih terbuka dalam hal membagikan informasi dan tanggung jawab pada para pendukung mereka. Dengan keterbukaan ini mereka menanamkan ”kepercayaan” pada para pendukung. Hasilnya, para pendukung umumnya menjadi lebih loyal pada wanita pemimpin mereka.
Misalnya: Aung San Suu Kyi, pemimpin para pejuang demokrasi dari Myanmar, memiliki banyak pengikut dan pendukung setia, karena keterbukaannya pada rakyat. Sikap ini memupuk kepercayaan rakyat akan ketulusan Aung San Suu Kyi dalam memperjuangkan nasib mereka.
Setiap orang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan orang lain di bidang-bidang yang berbeda. Demikian juga dengan wanita yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan pria di bidang-bidang tertentu. Jika kedua golongan ini bisa saling belajar satu dengan lainnya, dan saling mengisi dengan kelebihan masing-masing, tentunya banyak hal positif yang bisa diraih dan banyak perubahan positif yang juga bisa diciptakan. Di bulan April ini yang seringkali diasosiasikan dengan bulan perjuangan kaum ”Kartini”, mengapa kita tidak belajar dari hal-hal positif yang menjadi keunggulan para wanita pemimpin?
0 komentar:
Posting Komentar